KERAJAAN MAJAPAHIT
Majapahit adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, Indonesia, yang
pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai
puncak kejayaannya menjadi kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas
di Nusantara pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350
hingga 1389.
Kerajaan Majapahit
adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap
sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Kekuasaannya
terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia
timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.
Hanya terdapat sedikit
bukti fisik sisa-sisa Majapahit, dan sejarahnya tidak jelas. Sumber utama yang
digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton (’Kitab Raja-raja’) dalam bahasa
Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno. Pararaton terutama
menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa
bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama
merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah
pemerintahan Hayam Wuruk. Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas.
Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan
sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.
Keakuratan semua
naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa
sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Beberapa sarjana seperti
C.C. Berg menganggap semua naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi
memiliki arti supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan. Namun
demikian, banyak pula sarjana yang beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber
tersebut dapat diterima karena sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok,
khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang tampak cukup pasti.
Sebelum berdirinya
Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di Jawa. Hal ini
menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim
utusan yang bernama Meng Chi ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara,
penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan
mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya.
Kublai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.
Ketika itu,
Jayakatwang, adipati Kediri, sudah menggulingkan dan membunuh Kertanegara. Atas
saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya,
menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi
hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai
Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa “pahit” dari buah
tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol
untuk bertempur melawan Jayakatwang. Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang,
Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka
menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di
negeri asing. Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk
menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka terpaksa harus menunggu
enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang
digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan
Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 saka yang
bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi
Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang
terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak
melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Slamet Muljana
menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan
semua orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam
pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha
ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati. Wijaya meninggal dunia pada
tahun 1309.
Putra dan penerus
Wijaya adalah Jayanegara. Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang berarti
“penjahat lemah”. Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan
Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi keraton
Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca.
Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi
Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni
menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu
Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai Mahapatih,
pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa yang menunjukkan
rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan membangun sebuah kemaharajaan.
Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar
dan terkenal di kepulauan Nusantara. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai
kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.
Hayam Wuruk, juga
disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada
masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya,
Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih
banyak wilayah.
Menurut Kakawin
Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra,
semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku,
Papua, Tumasik ( Singapura) dan sebagian kepulauan Filipina. Sumber ini
menunjukkan batas terluas sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan Majapahit.
Namun demikian,
batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut
tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi
terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh
raja[15]. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma
bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh
jalan diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena didorong alasan
politik, Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi (Pitaloka), putri
Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya. Pihak Sunda menganggap lamaran ini
sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta keluarga
dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk dinikahkan
dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini sebagai peluang
untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit. Pertarungan antara
keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan Bubat tidak
terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan, keluarga kerajaan
Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh rombongan keluarga kerajaan
Sunda dapat dibinasakan secara kejam. Tradisi menyebutkan bahwa sang putri yang
kecewa, dengan hati remuk redam melakukan “bela pati”, bunuh diri untuk membela
kehormatan negaranya. Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam naskah
Kidung Sunda yang disusun pada zaman kemudian di Bali. Kisah ini disinggung
dalam Pararaton tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam Nagarakretagama.
Kakawin
Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya keraton yang
adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus dan
tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga menggambarkan
Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang membentang dari Sumatera ke Papua,
mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di berbagai daerah di
Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai kekuasaan Majapahit.
Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit hanya mencakup
wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam pemerintahan
otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan Majapahit atas
mereka. Akan tetapi segala pemberontakan atau tantangan bagi ketuanan Majapahit
atas daerah itu dapat mengundang reaksi keras.
Pada tahun 1377,
beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut
untuk menumpas pemberontakan di Palembang. Meskipun penguasa Majapahit
memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau dan kadang-kadang menyerang
kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit nampaknya adalah mendapatkan porsi
terbesar dan mengendalikan perdagangan di kepulauan Nusantara. Pada saat inilah
pedagang muslim dan penyebar agama Islam mulai memasuki kawasan ini.
JATUHNYA MAJAPAHIT
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit
berangsur-angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389,
Majapahit memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris
Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya
sendiri, pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari
selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta. Perang saudara yang
disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara
Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi
Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung. Tampaknya
perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya
di seberang.
Pada kurun
pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang
dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China, tiba di Jawa
beberapa kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun 1430 ekspedisi
Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas muslim China dan Arab di beberapa kota
pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel; maka
Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.
Wikramawardhana
memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya, Ratu Suhita, yang
memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri kedua Wikramawardhana
dari seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi. Pada 1447, Suhita mangkat
dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik laki-lakinya. Ia memerintah
hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre Pamotan menjadi raja dengan
gelar Rajasawardhana dan memerintah di Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD.
Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja akibat krisis pewarisan takhta.
Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta pada 1456. Ia kemudian wafat
pada 1466 dan digantikan oleh Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran
Kertabhumi memberontak terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya
sebagai raja Majapahit.
Ketika Majapahit
didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki
Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di
seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan
perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul
di bagian barat Nusantara. Di bagian barat kemaharajaan yang mulai runtuh ini,
Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada
pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya
ke Sumatera. Sementara itu beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di
daerah lainnya di Nusantara, satu per satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan
Majapahit.
Singhawikramawardhana
memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke pedalaman di Daha (bekas ibu kota
Kerajaan Kediri) dan terus memerintah disana hingga digantikan oleh putranya
Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478 Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dan
mempersatukan kembali Majapahit menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah
pada kurun waktu 1474 hingga 1519 dengan gelar Girindrawardhana. Meskipun
demikian kekuatan Majapahit telah melemah akibat konflik dinasti ini dan mulai
bangkitnya kekuatan kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa.
Waktu berakhirnya
Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun 1478 (tahun 1400 saka,
berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim pergantian dinasti dan
berakhirnya suatu pemerintahan) hingga tahun 1527.
Dalam tradisi Jawa ada
sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi.
Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai
0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah sirna
hilanglah kemakmuran bumi. Namun demikian yang sebenarnya digambarkan oleh
candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit,
oleh Girindrawardhana.
Menurut prasasti Jiyu
dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah mengalahkan Kertabhumi dan
memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri). Peristiwa ini memicu perang antara Daha
dengan Kesultanan Demak, karena penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi.
Peperangan ini dimenangi Demak pada tahun 1527. Sejumlah besar abdi istana,
seniman, pendeta, dan anggota keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali.
Pengungsian ini kemungkinan besar untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari
Demak akibat selama ini mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.
Dengan jatuhnya Daha
yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan kerajaan Islam pada awal
abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan Majapahit. Demak dibawah
pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan) Patah (Fatah), diakui sebagai
penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah Jawi dan tradisi Demak,
legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja Majapahit Brawijaya V dengan
seorang putri China.
Catatan sejarah dari
Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa
telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke
tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521
M.
Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam
pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit, sisa
kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan Blambangan di
ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran di bagian barat.
Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya masyarakat Hindu ke
pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat Hindu Tengger hingga kini
masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan Bromo dan Semeru.
Nagarakretagama menyebutkan
budaya keraton yang adiluhung dan anggun, dengan cita rasa seni dan sastra yang
halus, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender
tata negara digelar tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua
utusan dari semua wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar
upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis:
keraton termasuk kawasan ibu kota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur
dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung
oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati
otonomi luas.
Ibu kota Majapahit di
Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan perayaan besar keagamaan yang
diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu)
dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha,
Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama sekali tidak menyinggung tentang
Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat beberapa pegawai atau abdi istana
muslim saat itu.
Walaupun batu bata
telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek Majapahitlah yang
paling ahli menggunakannya. Candi-candi Majapahit berkualitas baik secara
geometris dengan memanfaatkan getah tumbuhan merambat dan gula merah sebagai
perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang masih dapat ditemui sekarang
adalah Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu di Trowulan, Mojokerto.
Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit
didapatkan dari catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan
dalam bukunya: “Perjalanan Pendeta Odorico da Pordenone”. Ia mengunjungi
beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa, dan Banjarmasin di Kalimantan. Ia
dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia Tengah. Pada 1318 ia
berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia, terus hingga
mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar hingga
mencapai Sumatera, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali ke Italia
melalui jalan darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra menuju
Eropa pada 1330.
Di buku ini ia
menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci nama tempat yang ia
kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja bawahan. Disebutkan juga di
pulau ini terdapat banyak cengkeh, kemukus, pala, dan berbagai rempah-rempah
lainnya. Ia menyebutkan istana raja Jawa sangat mewah dan mengagumkan, penuh
bersepuh emas dan perak. Ia juga menyebutkan raja Mongol beberapa kali berusaha
menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa
yang disebutkan disini tak lain adalah Majapahit yang dikunjungi pada suatu
waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa pemerintahan Jayanegara.
EKONOMI
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan. Pajak dan
denda dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal mata
uang sejak abad ke-8 pada masa kerajaan Medang yang menggunakan butiran dan
keping uang emas dan perak. Sekitar tahun 1300, pada masa pemerintahan raja
pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter penting terjadi: keping uang dalam
negeri diganti dengan uang “kepeng” yaitu keping uang tembaga impor dari China.
Pada November 2008 sekitar 10.388 keping koin China kuno seberat sekitar 40
kilogram digali dari halaman belakang seorang penduduk di Sidoarjo. Badan
Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur memastikan bahwa koin
tersebut berasal dari era Majapahit. Alasan penggunaan uang logam atau koin
asing ini tidak disebutkan dalam catatan sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli
menduga bahwa dengan semakin kompleksnya ekonomi Jawa, maka diperlukan uang
pecahan kecil atau uang receh dalam sistem mata uang Majapahit agar dapat
digunakan dalam aktivitas ekonomi sehari-hari di pasar Majapahit. Peran ini
tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh uang emas dan perak yang mahal.
Beberapa gambaran
mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu dikumpulkan dari berbagai
data dan prasasti. Prasasti Canggu yang berangka tahun 1358 menyebutkan
sebanyak 78 titik perlintasan berupa tempat perahu penyeberangan di dalam
negeri (mandala Jawa). Prasasti dari masa Majapahit menyebutkan berbagai macam
pekerjaan dan spesialisasi karier, mulai dari pengrajin emas dan perak, hingga penjual
minuman, dan jagal atau tukang daging. Meskipun banyak di antara
pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman sebelumnya, namun proporsi
populasi yang mencari pendapatan dan bermata pencarian di luar pertanian
semakin meningkat pada era Majapahit.
Menurut catatan Wang
Ta-Yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada,
garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara,
emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari
campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu, catatan
Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa
pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan
emas, perak, dan permata.
Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama; lembah sungai
Brantas dan Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur utara sangat cocok untuk
pertanian padi. Pada masa jayanya Majapahit membangun berbagai infrastruktur
irigasi, sebagian dengan dukungan pemerintah. Faktor kedua; pelabuhan-pelabuhan
Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali berperan penting sebagai
pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas rempah-rempah Maluku. Pajak
yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang melewati Jawa merupakan sumber
pemasukan penting bagi Majapahit.
Nagarakretagama menyebutkan
bahwa kemashuran penguasa Wilwatikta telah menarik banyak pedagang asing, di
antaranya pedagang dari India, Khmer, Siam, dan China. Pajak khusus dikenakan
pada orang asing terutama yang menetap semi-permanen di Jawa dan melakukan
pekerjaan selain perdagangan internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri
untuk mengurusi pedagang dari India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota
kerajaan maupun berbagai tempat lain di wilayah Majapahit di Jawa.